Kamis, 19 Agustus 2010

sindrom klinefelter

Sindrom Klinefelter sekarang sedang hangat-hangatnya dibicarakan di berbagai media, khususnya media online. Banyaknya media membicarakan gejala Sindrom Klinefelter dan pengobatannya ini berawal dari adanya kasus tuntutan yang dilayangkan oleh keluarga Jane Deviyanti kepada Alterina Hofnan karena dituduh memalsukan identitas kelaminnya. Maksudnya, apa itu Sindrom Klinefelter?

Sindrom Klinefelter adalah kelainan genetik yang biasanya banyak terjadi pria. Pria dengan kelainan ini, tidak mengalami perkembangan seks sekunder yang normal seperti penis dan testis yang tidak berkembang, perubahan suara (suara lebih berat tidak terjadi), bulu-bulu di tubuh tidak tumbuh; biasanya tidak dapat membuahkan (tidak subur) tanpa menggunakan metoda-metoda penyuburan khusus.

Mereka mungkin mempunyai masalah-masalah lain, seperti sedikit dibawah kemampuan inteligensia, perkembangan bicara yang terhambat, kemampuan verbal yang kurang dan masalah-masalah emosional dan tingkah laku. Meskipun demikian ada juga yang memiliki intelegensia diatas rata-rata dan tidak ada perkembangan emosional atau masalah-masalah tingkah laku. Sekitar 1 pada 500 sampai 1 pada 1000 bayi-bayi laki-laki yang dilahirkan mengidap sindrom Klinefelter.

Penyebab Sindrom Klinefelter:
Laki-laki biasanya mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y; mereka yang mengidap sindrom Klinefelter mempunyai kurang lebih satu tambahan kromosom X. Untuk alasan itu, mereka mungkin digambarkan sebagai pria dengan XXY atau pria dengan sindrom XXY. Pada kasus-kasus yang jarang, beberapa pria dengan sindrom Klinefelter memiliki sebanyak tiga atau empat kromosom X atau satu atau lebih tambahan kromosom Y.



Diagnosis dokter tentang Sindrom Klinefelter?
Sindrom Klinefelter biasanya baru terlihat tanda-tandanya setelah penderita memasuki masa pubertas, untuk mendiagnosis biasanya dokter menggunakan karyotipe berdasarkan hasil analisis yang diambel dari sample darah. Hasil analisis akan menunjukkan karyotipe kromosom penderita yang memiliki kelebihan kromosom seks X.

Sindrom Klinefelter juga dapat didiagnosis selama kehamilan seorang wanita. Dokter dapat mencari kelainan kromosom dalam sel yang diambil dari cairan ketuban yang mengelilingi janin (amniosentesis), atau dari plasenta (chorionic villus sampling (CVS)).

Walaupun gangguan ini biasa, banyak pria dengan sindrom Klinefelter tidak menyadari mereka mengidapnya dan hidup secara normal. Mereka tidak menyadari kelainan tanda-tanda fisik, emosional atau mental dari gangguan ini. Oleh karena itu banyak ahli kesehatan lebih suka untuk menyebutkan pria dengan tambahan kromosom X ini sebagai “pria XXY”. Ini menghilangkan beberapa hal negatif yang menyangkut istilah “sindrom”.

Tanda-tanda dari sindrom Klinefelter berbeda dari satu orang dengan orang lain. Perbedaan tersebut umumnya bergantung pada jumlah dari tambahan kromosom X pada sel-sel dan berapa banyak sel-sel yang telah terpengaruh. Mereka yang memiliki lebih dari satu kromosom X umumnya mempunyai beberapa gejala-gejala berat, termasuk keterbelakangan mental.

Pengobatan:
Sindrom Klienefelter biasanya tidak pernah terdiagnosa sebelum usia mendekati remaja (sekitar usia 11 sampai 12 tahun), ketika pria mulai masuk masa puber. Pada tahap ini, testis anak tersebut gagal berkembang seperti yang terlihat normal pada masa puber. Testis tersebut tidak mencapai ukuran orang dewasa, tidak dapat untuk menghasilkan testoteron yang cukup, dan tidak dapat menghasilkan sperma yang cukup bagi seseorang untuk menjadi seorang ayah bagi anaknya.


Pengobatan termasuk bantuan yang berhubungan dengan perkembangan bicara dan masalah-masalah emosi dan tingkah laku, dan jika perlu mendapatkan suntikan terstoteron.

Masalah-masalah kesehatan lain penderita Sindrom Klinefelter:
Penderita Sindrom Klinefelter mungkin beresiko tinggi terkena diabetes, masalah-masalah kulit (eksim dan borok pada kaki), penyakit serebrovaskular ( penyakit-penyakit pembuluh darah di otak seperti stroke), penyakit paru-paru kronik, osteoporosis, pelebaran pembuluh darah (varises) dan kanker payudara. Meskipun kanker payudara pada pria tidak umum, tapi dapat terjadi pada para pria dengan sindrom Klinefelter 20 kali lebih besar dibandingkan pria-pria lainnya.

Fakta menarik dari sindrom Klinefelter:
Sindrom Klinefelter adalah salah satu kelainan genetik yang paling umum. Kelainan ini dapat terjadi dengan perbandingan antara 1 dalam 500 dan 1 dari 1.000 laki-laki. kelainan ini diberi nama syndrome klinefelter dengan mengambil nama tokoh pertama kali yang menemukan adanya gejala kelainan sindrome ini, yaitu Dr. Harry Klinefelter pada tahun 1942.

Senin, 16 Agustus 2010

S L E

SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS

Definisi dan Prevalensi

Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun. Sembilan puluh persen pasien adalah wanita umur subur; walaupun semua jenis kalmin, umur, dan kelompok ras dapat terkena, prevalensi SLE di Amerika Seikat adalah 15-50 dari 100.000 penduduk, prevalensi tertinggi diantara kelompok etnis pada penilitian ini adalah kelompok Afrika Amerika (Negro).

Etiologi dan Patogenesis 

Mekanisme pathogenic dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnyatic klirens sel apoptotic dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotic; sehingga antige, autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.

Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respon imun abnormal yang menghasilkan autoantibody pathogen dan deposisi kompleks imun pada jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan kerusakan organ irreversible.Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus; HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin; MBL, mannose-binding ligand; MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN, phosphotyrosine phosphatase; UV, ultraviolet
SLE merupakan penyakit yang melibatkan banyak gen. Pada individu yang memiliki predisposisi genetik, allel normal dari beberapa gen normal masing-masing berkontribusi terhadap respon imun abnormal yang kecil; jika beberapa variasi jumlah berakumulasi , penyakit akan terjadi. Defisiensi homozigot pada komponen awal dari komplemen (C1q,r,s; C2; C4) mengakibatkan predisposisi yang kuat terhadap kejadian SLE, namun defisiensi ini jarang terjadi. Tiap gen meningkatkan resiko SLE sebanyak 1,5 hingga 3 kali lipat. Beberaa allel gen kemungkinan berperan dalam mempengaruhi klirens sel apoptotic (C1q,MBL) atau kompleks imun (FcR 2A dan 3A), kemunculan antigen (HLA-DR2,3,8), Maturasi sel B (IL-10), aktivasi sel T (PTPN22) atau kemotaksis (MCP-1). Tidak satupun hipotesis ini telah terbukti. Sebagai penambahan terhadap predisposisi penyakit pada etnis tertentu, beberapa gen berpengaruh terhadap manifestasi klinis penyakit ini (misal, FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nephritis; MCP-1 untuk arthritis dan vasculitis). Suatu daerah pada kromosom 16 mengandung gen yang merupakan predisposisi SLE, rheumatoid arthritis, psoriasis, dan Penyakit Chron’s, Terdapat pula beberapa allel gen yang berfungsi sebagai proteksi. Semua kombinasi gen ini mempengaruhi respon imun terhadap lingkungan eksternal dan internal; jika respon tersebut terlalu tinggi atau berkepanjangan, penyakit autoimun akan terjadi.

Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang memiliki respon antibody yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki peningkatan resiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel ini, sehingga menunjang respon imun yang memanjang.

Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1). Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70% pasien, kemungkinan dengan peningkatan apoptosis pada sel kulit atau dengan mengubah DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenic. Sepertinya beberapa infeksi memicu respon imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang mengenal self-antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibody hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibody dan sel B dan T yang pathogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetic. Anak dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam beberapa decade; Ia juga mengandung sekuens asam amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang dikenali oleh autoantibody pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara predisposisi genetic, lingkungan, jenis kelamin, dan respon imun abnormal akan mengakibatkan autoimunitas. 

Patologi

Pada SLE, biopsy dari kulit yang terkena memperlihatkan deposisi Ig pada lapisan antara dermal dan epidermal (dermal-epidermal junction/DEJ), jejas pada keratinosit basal, dan peradangan yang didominasi oleh limfosit T pada DEJ dan sekitar pembuluh darah serta pada sebagian kecil dari lapisan dermal. Kulit yang tidak terkena secara klinis juga dapat memperlihatkan deposisi Ig pada DEJ.
Pada biopsy ginjal, pola dan keparahan jejas sangat penting dalam diagnosis dan memilih penatalaksanaan yang tepat. Penelitian klinis lupus nephritis yang banyak dipublikasi kebanyakan menggunakan klasifikasi World Health Organization (WHO). Tetapi, the International Society of Nephrology (ISN) dan Renal Pathology Society (RPS) telah mempublikasikan klasifikasi yang terbaru dan menyerupai klasifikasi WHO (Tabel 1) yang kemungkinan akan mengganti standar WHO. Kelebihan dari klasifikasi ISN/RPS adalah penambahan “a” untuk perubahan aktif dan “c” untuk kronis, sehingga memberikan informasi kepada seorang dokter mengenai prognosis dari penyakit ini (dapat reversible atau irreversible). Semua klasifikasi berfokus pada penyakit glomerular, walaupun keberadaan penyakit tubular interstitial dan vaskuler juga penting dalam manifestasi klinis. Pada umumnya, penyakit kelompok III dan IV, begitupula dengan penyakit kelompok V yang disertai dengan kelompok III atau IV, sebaiknya ditangani dengan imunosupresi yang agresif jira memungkinkan, karena terdapat resiko tinggi gagal ginjal tahap akhir (end-stage renal disease/ESRD) jira pasien tidak ditangani atau terlambat ditangani. Penanganan lupus nephritis tidak dianjurkan pada pasien dengan penyakit kelopok I dan II atau dengan perubahan irreversible yang luas. Pada anak, diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran histologis renal walaupun tanpa kriteria diagnosis lainnya.
Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis
Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan immunofluorescence
Class II:Mesangial Proliferative Lupus Nephritis
Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matrix mesangial dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan subendotel samara dapat terlihat dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron namun tidak tampak dengan mikroskop biasa.
Class III: Focal Lupus Nephritis
Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau ekstrakapiler terjadi pada <50%>
Class III (A): Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis
Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis
Class III (C): Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular—focal sclerosing lupus nephritis
Class IV: Diffuse Lupus Nephritis
Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau ekstrakapiler yang melibatkan 50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan depsit imun yang difus, diserta atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus nephritis segmental difus (IV-S) jika 50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika 50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi yang global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus.
Class IV-S (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative
Class IV-G (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative
Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental proliferative dan lupus nephritis sclerosing
Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative dan lupus nephritis sclerosing
Class IV-S (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse segmental sclerosing
Class IV-G (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse global sclerosing
Class V: Membranous Lupus Nephritis
Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari pemeriksaan mikroskop dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi dengan kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.
Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis
90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual 

Diagnosis

Kriteria diagnosis Systemic Lupus Erythematous adalah beberapa gejala pada table 2 dibawah ini :
No Gejala Pengertian
1 Malar Rash (Butterfly rash) Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar)
2 Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut atropi dapat terjadi
3 Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan bercak-bercak
4 Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan
5 Arthritis arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi
6 Serositis Pleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui ECG atau bukti adanya efusi pleura
7 Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler
8 Gangguan neurologik Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas
9 Gangguan hematologik Anemia atau leucopenia hemolytic (<4000/l)>
10 Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid
11 Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya.

Tabel 2.Kriteri klinis untuk diagnosis SLE 

Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibody. Kriteria terkini untuk klasifikasi telah dijelaskan diatas dan sebuah algoritme klasifikasi terdaftar pada gambar 2. Kriteria ini bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis SLE pada pasien yang termasuk dalam suatu penelitian; penyusun penilitian menggunakan kriteria ini pada beberapa individu untuk menilai kecenderungan terjadinya SLE. Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE (spesifitas dan sensitivitas secara berurutan 95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala semakin b dalam selang waktu tertentu. Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama perjalanan penyakit; pemeriksaan ANA berulang yang negative menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibody lainnya ditemukan (Gambar 2). Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibody pada antigen Sm spesifik untuk SLE dan mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa autoantibody pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko karena SLE secara klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibody.

Interpretasi dari Manifestasi klinis 

Jika diagnosis SLE ditegakkan, penting untuk mengetahui tingkat keparahan dan kemungkinan reversible pada penyakit ini dan untuk memperkirakan konsekuensi dari beberapa intervensi terapeutik. Pada paragraf berikutnya, deskripsi dari beberapa manifestasi penyakit bermulai dengan permasalahan yang relatif ringan dan berkembang menjadi yang lebih mengancam nyawa.
Pembahasan umum dan Manifestasi sistemik 

Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ; dalam selang waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparajan SLE beragam mulai dari ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang; remisi permanen sempurna (Hilangnya gejala tanpa pengobatan) jarang terjadi.Gejala sistemik, utamanya malaise dan myalgia/arthralgia, didapatkan kebanyakan. Penyakit sistemik yang berat memerlukan terapi glukokortikoid dapat terjadi dengan demam, letih, berat badan berkurang, dan anemia disertai atau tanpa manifestasi organ target lainnya.

Manifestasi Muskuloskeletal

Kebanyakan pasien SLE memiliki polyarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray sendi jarang ditemukan; keberadaannya menandakan peradangan arthropathy non lupus seperti rheumatoid arthritis; beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan, utamanya jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya. Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan kadar creatinin kinase, MRI Scan positif, dan nekrosis otot dan peradangan pada biopsy dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glucocoticoid dan antimalaria dapat juga menyebabkan kelemahan otot; efek samping ini mesti dibedakan dari penyakit aktif

Manifestasi Penyakit Kulit

Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE), bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau “lainnya”. Lesi discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal secara permanent rusak. Lesi dapat memburukkan rupa, terutama pada wajah dan kulit kepala. Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE (walaupun setengahnya memiliki ANA yang positif); namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat fotosensitive, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan sekitar hidung –the ”buterfly rash”), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibody terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis (“lupus profundus”). Bercak dapat ringan atau berat;p mereka dapat menjadi manifestasi utama penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE; lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.

Manifestasi Renal

Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis (lihat “Patologi” diatas, dan table 1). Biopsi renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau dimasa akan datang. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam); sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami ESRD dalam 2 tahun diagnosis. Sehingga, imunosupresi agresif diindikasikan (kebanyakan kortikosteroid sistemik disertai dengan obat sitotoxic), kecuali kerusakan irrversibel. Etnis African American lebih cenderung mengidap ESRD dibandingkan dengan ras Kaukasia, bahkan dengan kebanyakan terapi terkini. Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif dan dari komplikasi penyakit ginjal. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria (biasanya nephrotik) memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsy ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk kebanyakan orang dengan lupus nephritis, percepatan atherosclerosis menjadi penting setelah beberapa tahun , perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan tekanan darah, hyperlipidemia, dan hyperglycemia.

Manifestasi Sistem Saraf

Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE, pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas. Penting untuk melakukan pendekatan diagnostic dengan menanyakan apakah gejalanya akibat SLE atau penyakit lain (seperti infeksi pada individu immunocompromised). Jika gejala berhubungan dengan SLE, sebaiknya ditentukan apakah mereka disebabkan oleh proses difus atau penyakit oklusif vaskuler. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE; jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang. Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh lupus, penanganan seringkali membutuhkan antiseizure dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi manifestasi dominant pada SLE; hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Yang terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau dihentikan. Myelopathy tidak jarang dan seringkali menimbulkan kecacatan; terapi immunosupresif segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi. 

Oklusi Vaskuler

Prevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myocard meningkat pada pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE dengan antibody terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibody antifosfolipid ini berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal (baik noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau dengan embolisasi dari plaq arteri carotid atau dari vegerasi fibrinous dari Libman-Sack endocarditis. Pemeriksaan yang tepat untuk aPL (lihat dibawah) dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan, intensitas, durasi dari terapi antiinflamasi dan/atau antikoagulasi. Pada SLE, infark myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan resiko kejadian vaskuler dapat mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada wanita < style="" lang="IT">Peran dari terapi statin pada SLE masih dalam investigasi. 

Manifestasi Pulmoner

Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespon dengan pemberian terapi NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs); jika lebih berat, pasien membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadu sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar; semua kemungkinan ini membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini begitupula dengan perawatan suportif. 

Manifestasi Penyakit Jantung 

Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya ini berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endocardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakan katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus myocarditis atau endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik. Seperti yang didiskusikan diatas, pasien dengan SLE mengalami peningkatan resiko infark myocard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ.

Manifestasi Hematologik

Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya normochromic normocytic, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolysis dapat cepat dalam onsetnya dan berat, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi, dimana efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu mengandung limphophenia, bukan granulositopenia; ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Thrombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi. Terapi glukokortikoid dosis tinggi (misal, 1 mg/kg per hari dengan prednisone atau yang seimbang) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama thrombositopenia berat. Anemia hemolitik dan thrombositopenia rekuren atau berkepanjangan, atau penyakit yang membutuhkan dosis yang sangat tinggi dari glukokortikoid harian, sebaiknya ditangani dengan strategi tambahan. 

Manifestasi Gastrointestinal 

Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebakan oleh peritonitis autoimun dan/atau peritonitis. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa; perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressice dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi tambahan. 

Manifestasi Okuler 

Sindrom Sicca (Sindrom Sjögren's) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis optic yang merupakan manifestasi berat: kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Immunosuppresi agresif dianjurkan, walaupun tidak ada penelitian untuk membuktikan efektivitasnya. Komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk katarak dan glaucoma. 

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.
Pemeriksaan Autoantibodi
Tabel 3 Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Antibody Prevalensi, % Antigen yang Dikenali Clinical Utility
Antinuclear antibodies 98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double-stranded) Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubunfan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks protein pada U1 RNAγ Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE.
Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein pada hY RNA, terutama 60 kDa dan 52 kDa Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupus subakut, dan lupus neonatus disertai blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis.
Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein pada hY RNA Biasanya terkait dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis
Antihistone 70 Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome, chromatin) Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.
Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2 glycoprotein 1 cofactor, prothrombin
Tiga tes tersedia –ELISA untuk cardiolipin dan β2G1, sensitive prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.

Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs’ langsung; terbentuk pada hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan perubahan antigen sitoplasmik pada platelet. Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE
Antineuronal (termasuk anti-glutamate receptor) 60 Neuronal dan permukaan antigen limfosit Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.
Antiribosomal P 20 Protein pada ribosome Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS

Catatan: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay.

Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. ELISA dan reaksi immunofluorosensi rpada sera dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar ~60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis

Pemeriksaan Staandar untuk Diagnosis

Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan urinalysis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan mempengaruhi keputusan penatalaksanaan
Pemeriksaan untuk Menilai Perkembangan Penyakit

Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang mengindikasikan status dari keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung. Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya untuk menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibody anti-DNA, beberapa komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi (termasuk yang berikatan dengan reseptor C4d pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-2, dan adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.1. Tidak ada yang disetujui sebagai indikator terpercaya pada serangan atau respon dari intervensi. Dokter sebaiknya menginformasikan kepada tiap pasien pemeriksaan laboratorium yang berubah dapat memprediksi serangan. Jika terjadi, perubahan terapi berespon dengan perubahan hasil laboratorium dapat mencegah suatu serangan. Sebagai tambahan, karena meningkatnya prevalensi atherosclerosis pada SLE, dianjurkan untuk mengikuti rekomendasi dari National Cholesterol Education Program untuk memeriksa dan menangani, termasuk menilai SLE sebagai faktor resiko independent, seperti diabetes mellitus

Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus

Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi. Sehingam dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah manifestasi penyakit membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan organ, segera rencanakan terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial reversible, dan (3) pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit dan penanganannya. Terapi, dosis, dan efek samping terdaftar pada table 4.
Terapi Konservatif untuk Penanganan Keadaan yang Tidak Membahayakan Nyawa 

Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibody untuk SLE, namun tidak disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan diarahkan untuk menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang sering digunakan. NSAID merupakan analgesic/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk arthritis/arthralgia. Namun 2 masalah penting dalam pemakaian NSAIDs. Pertama, pasien SLE dibandingkan dengan populasi pada umumnya memiliki peningkatan resiko terjadinya meningitis aseptic terinduksi NSAID, peningkatan serum transaminase, hipertensi, dan disfungsi renal. Yang kedua, semua jenis NSAIDs, terutama yang mencegah siklooksigenase-2 secara spesifik, dapat meningkatkan resiko untuk infark myokard. Acetaminophen untuk mengendalikan nyeri mungkin strategi yang baik, namun NSAIDs dapat lebih efektif pada beberapa pasien, dan perbandingan antara bahaya pada NSAID dengan kortikosteroid belum diketahui. Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan kerusakan jaringan. Karena potensi toksik pada retina, pasien yang mendapatkan antimalaria sebaiknya menjalani pemeriksaan ophtalmologi paling tidak tiap tahun. Jika kualitas hidup belum cukup membaik dengan pemberian terapi konservatif ini, maka dosis glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan.

SLE Membahayakan Nyawa : Bentuk Proliferative dari Lupus Nephritis

Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.5–2 mg/kg per hari PO atau 1000 mg methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.5–1 mg/kg prednisone per hari). Bukti bahwa terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa disimpulkan dari suatu penelitian retrospektif dari era predialisis; harapan hidup lebih baik pada pasien dengan DPGN yang disembuhkan dengan glukokortikoid dosis tinggi (40–60 mg prednisone harian selama 4-6 bulan) dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah. Saat ini, dosis tinggi direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat; penelitian terkini pada intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis tersebut. Setelah itu, dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya hingga dosis maintenans mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga 20 mg tiap 2 hari. Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi maintenans ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk mencegah atau mengobati serangan. Usaha-untuk mengurangi kebutuhan glukokortikoid dibutuhkan karena pada kebanyakan orang mengalami efek samping yang bermakna (Tabel 4). Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi melalui intravenaupus (Methylprednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal. Telah menjadi umum pada praktek untuk memulai terapi SLE dengan pemberian glukokortikoid IV, berdasar dari penelitian tentang lupus nephritis. Pendekatan ini harus dipertimbangkan tingkat keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid (infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dll)

Agen immunosupresif/sitotoksik yang diberikan dengan glukokortikoid direkomendasikan untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif pada SLE melibatkan agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus nephritis, dan selalu dengan kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga, pemberiannya direkomendasikan untuk mengatasi nephritis. Baik siklophosphamid atau micophenolat mofetil (inhibitor spesifik limfosit) merupakan pilihan yang dapat diterima untuk mendapatkan erbaikan pada pasien dengan penyakit yang berat; azathioprine (suatu analog purin dan antimetabolik) dapat efektif namun lebih lama berespon. Pada pasien dengan biopsy ginjalnya menunjukkan stadium III atau IV (klasifikasi ISN), terapi dini dengan kombinasi glukokortikoid dan siklophosphamide mengurangi progresi ESRD dan meningkatkan harapan hidup. Penelitian jangka pendek terhadap glukokortikoid disertai mycophenolate mofetil menunjukkan bahwa regimen ini lebih aman dan tidak lebih jelek daripada siklophosphamide dalam mempertahankan perbaikan setelah 6 bulan fase induksi. Jika siklophosphamide digunakan, dosis yang direkomendasikan adalah 500-700 mg/m2 secara intravena, setiap bulan selama 3 hingga 6 bulan, kemudian pemberiannya dihentikan dan melanjutkannya dengan mycophenolate atau azathioprin. Insiden dari gangguan ovarium, merupakan efek umum dari terapi siklophosphamide, dapat dikurangi dengan terapi agonist hormone gonadotropin-releasing sebelum pemberian siklophosphamide. Penelitian di Eropa menyimpulkam bajwa siklophosphamide dengan dosis 500 mg tiap 2 minggu untuk 6 dosis sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama yang direkomendasikan sebelumnya, selama masa 5-7 tahun. Pada umumnya mayoritas pasien adalah Kaukasia; tidak jelas apakah data itu dapat belaku untuk etnis lainnya. Siklophosphamide dan mycophenolate mulai berespon setelah 3-16 minggu terapi dimulai, dimana glukokortikoid berespon dalam waktu 24 jam pertama. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang tinggi [misal, 265 mol/L (3,0 mg/dL)] selama beberapa bulan dan angka kronisitas pada biopsy renal sepertinya tidak berspon dengan baik. Durasi yang direkomendasikan untuk pemberian siklophosphamide masih controversial. Terdapat data untuk menunjang penanganan (1) tiap bulan IV selama 6 bulan diikuti dengan 2 tahun dengan dosis seperempatnya, (2) selama 12 minggu diikuti dengan azathioprine, dan (3) selama 6 bulan diikuti dengan azathioprine atau myciophenolate. Pada umumnya, siklophosphamide dan glukokortikoid dapat dihentikan jika sudah terjadi perbaikan yang jelas pada pasien; kemungkinan dari serangan penyakit diturunkan dengan melanjutkan terapi dengan salah satu dari obat sitotoksik/immunosupresif yang telah didiskusikan sebelumnya. Respon terhadap lupus nephritis terhadap siklophosphamide dan glukokortikoid lebih baik pada etnis kaukasia dibandingkan kaum African American, namun hasil dari penelitian jangka panjang diperlukan sebelum rekomendasi ini divalidasi. Efek samping sepertinya kebanyakan mempengaruhi pilihan pasien terhadap siklophosphamide yang memiliki angka tinggi kejadian kegagalan ovarium dan testis seiring dengan akumulasi dosis obat yang meningkat, mual dan malaise yang sering mengikuti tiap dosis IV adalah alopesia dan infeksi oportunis.
Karena glukokortikoid disertai dengan siklophosphadie memiliki efek samping dan sering tidak disukai oleh pasien, telah dilakukan penelitian terhadap terapi yang kurang toksik; hal ini mengarah kepada penelitian terkini serta penggunaan mycophenolate. Azathioprine disertai dengan glukokotikoid kemungkinan mengurangi angka serangan SLE dan menjaga kebutuhan dosis glukokortikoid.

Medications for the Management of SLE

Medication Dose Range Drug Interactions Serious or Common Adverse Effects
NSAIDs, salicylates (Ecotrina and St. Joseph's aspirina approved by FDA for use in SLE) Doses toward upper limit of recommended range usually required A2R/ACE inhibitors, glucocorticoids, fluconazole, methotrexate, thiazides NSAIDs: Higher incidence of aseptic meningitis, transaminitis, decreased renal function, vasculitis of skin; entire class, especially COX-2-specific inhibitors, may increase risk for myocardial infarction
Salicylates: ototoxicity, tinnitus
Both: GI events and symptoms, allergic reactions, dermatitis, dizziness, acute renal failure, edema, hypertension
Topical glucocorticoids Mid-potency for face; mid to high potency other areas None known Atrophy of skin, contact dermatitis, folliculitis, hypopigmentation, infection
Topical sunscreens SPF 15 at least; 30+ preferred None known Contact dermatitis
Hydroxychloroquinea (quinacrine can be added or substituted) 200–400 mg qd (100 mg qd) None known Retinal damage, agranulocytosis, aplastic anemia, ataxia, cardiomyopathy, dizziness, myopathy, ototoxicity, peripheral neuropathy, pigmentation of skin, seizures, thrombocytopenia
Quinacrine usually causes diffuse yellow skin coloration
DHEA (dehydroepiandrosterone) 200 mg qd Unclear Acne, menstrual irregularities, high serum levels of testosterone
Methotrexate b (for dermatitis, arthritis) 10–25 mg once a week, PO or SC, with folic acid; decrease dose if CrCl <> Acitretin, leflunomide, NSAIDs and salicylates, penicillins, probenecid, sulfonamides, trimethoprim Anemia, bone marrow suppression, leucopenia, thrombocytopenia, hepatotoxicity, nephrotoxicity, infections, neurotoxicity, pulmonary fibrosis, pneumonitis, severe dermatitis, seizures
Glucocorticoids, orala (several specific brands are approved by FDA for use in SLE) Prednisone, prednisolone: 0.5–1 mg/kg per day for severe SLE
0.07–0.3 mg/kg per day or qod for milder disease A2R/ACE antagonists, antiarrhythmics class III, 2,
cyclosporine, NSAIDs and salicylates, phenothiazines, phenytoins, quinolones, rifampin, risperidone, thiazides, sulfonylureas, warfarin Infection, VZV infection, hypertension, hyperglycemia, hypokalemia, acne, allergic reactions, anxiety, aseptic necrosis of bone, cushingoid changes, CHF, fragile skin, insomnia, menstrual irregularities, mood swings, osteoporosis, psychosis
Methylprednisolone sodium succinate, IVa (approved for lupus nephritis) For severe disease, 1 g IV qd x 3 days As for oral glucocorticoids As for oral glucocorticoids (if used repeatedly); anaphylaxis
Cyclophosphamideb
IV 7–25 mg/kg q month x 6; consider mesna administration with dose Allopurinol, bone marrow suppressants, colony-stimulating factors, doxorubicin, rituximab, succinylcholine, zidovudine Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, hemorrhagic cystitis (less with IV), carcinoma of the bladder, alopecia, nausea, diarrhea, malaise, malignancy, ovarian and testicular failure
Oral 1.5–3 mg/kg per day
Decrease dose for CrCl <>
Mycophenolate mofetilb 2–3 g/d PO; decrease dose if CrCl <25> Acyclovir, antacids, azathioprine, bile acid–binding resins, ganciclovir, iron, salts, probenecid, oral contraceptives Infection, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, lymphoma, lymphoproliferative disorders, malignancy, alopecia, cough, diarrhea, fever, GI symptoms, headache, hypertension, hypercholesterolemia, hypokalemia, insomnia, peripheral edema, transaminitis, tremor, rash
Azathioprineb 2–3 mg/kg per day PO; decrease frequency of dose if CrCl <> ACE inhibitors, allopurinol, bone marrow suppressants, interferons, mycophenolate mofetil, rituximab, warfarin, zidovudine Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, pancreatitis, hepatotoxicity, malignancy, alopecia, fever, flulike illness, GI s


Rabu, 11 Agustus 2010

folikulitis ,furunkel dan karbunkel

Follikulitis, Bisul & Karbunkel

Definisi

Folikulitis adalah peradangan pada selubung akar rambut (folikel).
Penyebabnya adalah infeksi oleh bakteri stafilokokus.
Folikulitis bisa terjadi di bagian kulit manapun, biasanya merupakan akibat dari kerusakan folikel rambut karena:
- bergesekan dengan pakaian
- penyumbatan folikel rambut
- pencukuran.

Pada kulit yang terkena akan timbul ruam, kemerahan dan rasa gatal.
Di sekitar folikel rambut tampak beruntus-beruntus kecil berisi cairan yang bisa pecah lalu mengering dan membentuk keropeng.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
Untuk memastikan bahwa penyebabnya adalah stafilokokus, bisa dilakukan pembiakan contoh jaringan yang terinfeksi di laboratorium.

Kompres hangat bisa mempercepat pengempesan folikulitis.
Untuk mengendalikan infeksi, bisa diberikan antibiotik (salep maupun kapsul).

Bisul

Bisul (furunkel) adalah infeksi kulit yang meliputi seluruh folikel rambut dan jaringan subkutaneus di sekitarnya.
Penyebabnya adalah bakteri stafilokokus, tetapi bisa juga disebabkan oleh bakteri lainnya atau jamur.

Paling sering ditemukan di daerah leher, payudara, wajah dan bokong.
Akan terasa sangat nyeri jika timbul di sekitar hidung atau telinga atau pada jari-jari tangan.

Furunkel berawal sebagai benjolan keras berwarna merah yang mengandung nanah. Lalu benjolan ini akan berfluktuasi dan tengahnya menjadi putih atau kuning (membentuk pustula).
Bisul bisa pecah spontan atau dipecahkan dan mengeluarkan nanahnya, kadang mengandung sedikit darah.

Bisa disertai nyeri yang sifatnya ringan sampai sedang.
Kulit di sekitarnya tampak kemerahan atau meradang.
Kadang disertai demam, lelah dan tidak enak badan.

Jika furunkel sering kambuhan maka keadaannya disebut furunkulosis.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
Pembiakan contoh jaringan kulit bisa dilakukan untuk memastikan bahwa penyebabnya adalah stafilokokus.

Jika bisul timbul di sekitar hidung biasanya akan diberikan antibiotik per-oral (melalui mulut) karena infeksi bisa dengan segera menyebar ke otak.


Karbunkel

Karbunkel adalah sekumpulan bisul yang menyebabkan pengelupasan kulit yang luas serta pembentukan jaringan parut.
Penyebabnya adalah bakteri stafilokokus.

Pembentukan dan penyembuhan karbunkel terjadi lebih lambat dibandingkan bisul tunggal dan bisa menyebabkan demam serta lelah karena merupakan infeksi yang lebih serius.

Lebih sering terjadi pada pria dan paling banyak ditemukan di leher bagian belakang.
Karbunkel juga cenderung mudah diderita oleh penderita diabetes, gangguan sistem kekebalan dan dermatitis.

Beberapa bisul bersatu membentuk massa yang lebih besar, yang memiliki beberapa titik pengaliran nanah.
Massa ini letaknya bisa lebih dalam di bawah kulit dibandingkan dengan bisul biasa.

Infeksi ini menular, bisa disebarkan ke bagian tubuh lainnya dan bisa ditularkan ke orang lain. Tidak jarang beberapa orang dalam sebuah rumah menderita karbunkel pada saat yang sama.
Faktor resiko terjadinya karbunkel adalah:
- tingkat kebersihan yang buruk
- keadaan fisik yang menurun
- gesekan dengan pakaian
- pencukuran.

Pada kulit yang terkena ditemukan beberapa bisul yang bersatu disertai nyeri yang sifatnya ringan atau sedang.
Kulit tampak merah dan membengkak. Karbunkel yang pecah akan mengeluarkan nanah lalu mengering dan membentuk keropeng.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
Untuk menentukan penyebabnya, bisa dilakukan biopsi atau pembiakan contoh jaringan yang terinfeksi.

Untuk mengendalikan infeksi diberikan sabun anti-bakteri, antibiotik topikal (salep atau krim) dan antibiotik per-oral.

Kompres hangat bisa membantu mempercepat penyembuhan. Jangan pernah memencet atau mencoba memecahkan karbunkel di rumah, karena bisa memperburuk dan menyebarkan infeksi.
Jika nanahnya sudah mengering, luka yang tertinggal harus sering dibersihkan dan sesudah menangani karbunkel, tangan harus dicuci bersih-bersih.

PENCEGAHAN
Menjaga kebersihan kulit dengan sabun cair yang mengandung zat anti-bakteri merupakan cara terbaik untuk mencegah terjadinya infeksi atau mencegah penularan.

Biang Keringat

DEFINISI
Biang Keringat adalah suatu ruam kulit yang menyebabkan gatal-gatal.

Paling sering ditemukan pada anak-anak, tetapi bisa menyerang usia berapapun.
Bagian tubuh yang sering membentuk biang keringat adalah batang tubuh dan paha.
PENYEBAB
Penyebabnya adalah penyumbatan pada pori-pori yang berasal dari kelenjar keringat.
Pada saat cuaca panas tubuh mengeluarkan keringat, tetapi karena adanya penyumbatan maka keringat tertahan di dalam kulit dan menyebabkan terbentuknya benjolan kecil berwarna merah.
GEJALA
Jika saluran kelenjar keringat tersumbat, maka keringat yang tertahan menyebabkan terjadinya peradangan, yang selanjutnya akan menimbulkan iritasi dan gatal-gatal.

Biang keringat biasanya tampak sebagai lepuhan yang sangat kecil atau benjolan kemerahan yang sangat kecil di kulit.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
PENGOBATAN
Masalah yang timbul akibat biang keringat dapat diatasi dengan mengurangi pembentukan keringat.
Usahakan agar kulit tetap kering dan dingin, dan yang terpenting adalah menghindari keadaan yang dapat meningkatkan pembentukan keringat.

Bisa juga digunakan lotion yang mengandung corticosteroid atau kadang ditambahkan sedikit mentol.

Angioma (tumor jinak pembukuh darah/pembuluh getah bening)


DEFINISI
Angioma adalah sekumpulan tumor jinak dari pembuluh darah atau pembuluh getah bening yang biasanya ditemukan di dalam dan di bawah kulit dan menyebabkan warna merah atau ungu di kulit.

Angioma seringkali merupakan bawaan lahir atau muncul segera setelah lahir dan bisa disebut sebagai tanda lahir.
Sepertiga dari bayi-bayi yang baru lahir memiliki angioma, yang gambarannya bervariasid an biasanya hanya menyebabkan masalah kosmetik.

Banyak angioma yang hilang dengan sendirinya.


Port-wine stains

Disebut juga nevi flammeus, merupakan warna pink, merah atau ungu yang mendatar dan dibawa sejak lahir.

Biasanya bersifat menetap, tetapi nevi flammeus yang kecil di wajah bisa menghilang dalam beberapa bulan.
Kebanyakan nevi flammeus tidak berbahaya, hanya menimbulkan gangguan kosmetik saja.

Kadang nevi flammeus timbul bersamaan dengan sindroma Sturge-Weber (suatu kelainan genetik yang menyebabkan keterbelakangan mental).

Nevi flammeus yang kecil bisa disamarkan dengan krim kosmetik.
Jika dirasa mengganggu, bisa diangkat dengan menggunakan sinar laser.

Hemangioma kapiler

Disebut juga strawberry marks, merupakan suatu penonjolan berwarna merah terang dengan diameter 1-10 cm.

Hemangioma kapiler biasanya timbul segera setelah lahir dan cenderung membesar secara perlahan selama beberapa bulan pertama.
Lebih dari 75% kasus menghilang secara total pada usia 7 tahun, tetapi beberapa diantaranya meninggalkan daerah keriput yang berwarna kecoklata.

Biasanya tidak memerlukan pengobatan khusus, kecuali jika terletak di dekat mata atau organ vital lainnya sehingga menimbulkan gangguan.
Untuk memperkecil ukurannya bisa diberikan kortikosteroid per-oral (misalnya prednison); paling efektif jika mulai diminum pada saat hemangioma mulai membesar.
Jarang dilakukan pembedahan untuk mengangkat hemangioma kapiler karena meninggalkan jaringan parut yang luas.


Hemangioma kavernosa

Hemangioma kavernosa adalah penonjolan berwarna merah atau keunguan yang terjadi akibat pelebaran pembuluh darah dan merupakan bawaan lahir.

Kadang hemangioma kavernosa membentuk luka terbuka dan mengalami perdarahan, dan sesudahnya akan menghilang sebagian.
Tanpa pengobatan, hemangioma kavernosa jarang menghilang secara keseluruhan.

Kepada anak-anak diberikan prednison per-oral.
Jika ukurannya kecil bisa dihilangkan melalui elektrokoagulasi (penghancuran jaringan dengan jarum elektrik).
Kadang perlu dilakukan pembedahan, terutama jika peningkatan aliran darah dari hemangioma kavernosa menyebabkan pembengkakan lengan atau tungkai.

Spider angioma

Spider angioma adalah sekumpulan pembuluh darah abnormal yang memberikan gambaran menyerupai laba-laba; bagian tengah berupa bintik yang berwarna kemerahan atau keunguan disertai tonjolan-tonjolan kecil.

Jika kita menekan bagian tengahnya, maka warna dari spider angioma akan memudar untuk sementara waktu.
Spider angioma sering ditemukan pada penderita sirosis hati, wanita hamil atau pemakai pil KB.
Spider angioma biasanya tidak menimbulkan gejala; tanda tersebut akan menghilang tanpa pengobatan dalam waktu 6-9 bulan setelah persalinan atau setelah pemakaian pil KB dihentikan.

Untuk keperluan kosmetik, bisa dilakukan penghancuran bagian tengahnya dengan elektrokoagulasi.


Limfangioma

Limfangioma adalah tumor jinak pada pembuluh kelenjar getah bening.

Limfangioma tampak sebagai benjolan yang terjadi akibat pelebaran dari sekumpulan pembuluh getah bening; kebanyakan berwarna coklat-kekuningan, tetapi ada juga yang berwarna kemerahan.
Jika tertusuk, akan mengeluarkan cairan bening.

Biasanya tidak memerlukan pengobatan khusus.
Pengangkatan limfangioma melalui pembedahan harus melibatkan dermis dan jaringan di bawah kulit karena limfangioma tumbuh jauh ke dalam.


Abses Kulit (Abses Kutaneus)


DEFINISI
Abses Kulit (Abses Kutaneus) adalah pengumpulan nanah yang disebabkan infeksi bakteri.
PENYEBAB
Abses kulit bisa terjadi setelah suatu infeksi, biasanya infeksi oleh stafilokokus (paling sering Staphylococcus aureus).

Abses kulit juga bisa terjadi setelah suatu luka ringan, cedera atau sebagai komplikasi dari folikulitis atau bisul.
Abses kulit bisa timbul di setiap bagian tubuh dan menyerang berbagai usia.

Abses kulit bisa menyumbat dan mengganggu fungsi jaringan di bawahnya.
Infeksi bisa menyebar, baik secara lokal maupun sistemik. Penyebaran infeksi melalui aliran darah bisa menyebabkan komplikasi yang berat.

GEJALA
Akan tampak luka kulit, baik dalam bentuk luka terbuka, luka tertutup maupun benjolan.
Luka ini tampak merah dan bisa mengeluarkan cairan.

Terdapat pembengkakan yang keras, bila diraba terasa hangat dan nyeri.

Bakteri bisa menginfeksi jaringan di sekitarnya dan menyebabkan selulitis.
Bakteri juga bisa menginfeksi pembuluh dan kelenjar getah bening di sekitarnya dan menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening.
Penderita bisa mengalami demam. 

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.

Untuk membantu menentukan penyebabnya, bisa dilakukan pembiakan atau pemeriksaan cairan yang berasal dari luka di kulit. 

PENGOBATAN
Dokter bisa mengobati abses dengan menyayatnya dan mengeluarkan nanahnya. Sebelum penyayatan dilakukan, diberikan obat bius lokal (misalnya lidokain).
Setalah semua nanah dibuang, luka dicuci dengan larutan garam. Kadang kantong abses yang sudah dikeringkan ditutup dengan kasa dan dibuka 24-48 jam kemudian.

Bila abses sudah kering sempurna, biasanya tidak diperlukan antibiotik.
Antibiotik diberikan bila infeksi sudah menyebar atau abses ditemukan di bagian tengah atau bagian atas wajah karena bisa menyebar ke otak.
Antibiotik yang bisa membunuh stafilokokus dan streptokokus adalah nafsilin, dikloksasilin dan oksasilin.

Kompres hangat bisa membantu mempercepat penyembuhan serta mengurangi peradangan dan pembengkakan. 

PENCEGAHAN
Usahakan agar kulit di sekeliling luka kecil tetap bersih dan kering.
Obati infeksi ringan secara tuntas.
Waspada akan tanda-tanda terjadinya infeksi (demam, nyeri, kemerahan, pembengkakan).

Selasa, 10 Agustus 2010

HERPES ZOOSTER

Pendahuluan
Latar Belakang
Virus Varicella-zoster (VZV) merupakan agen penyebab cacar air, yang merupakan infeksi umum yang terjadi pada anak-anak. Setelah cacar air sembuh, VZV tinggal secara dorman ganglion akar dorsal spinalis sampai muncul reaktivasi berupa herpes zoster (shingles). “Shingles” adalah sindrom yang karakteristiknya berupa rash vesikuler unilateral yang nyeri, biasanya terbatas dalam distribusi dermatomal. Kadang-kadang, terutama pada pasien immunocompromised, infeksinya dapat menyebar dan menghasilkan penyakit sistemik yang berat, melibatkan beberapa organ viseral dan banyak dermatom (disseminated zoster).
Herpes zoster biasanya memiliki gejala yang ringan, namun dapat terjadi komplikasi, mulai dari yang ringan sampai yang mengancam jiwa. Complicated herpes zoster menunjuk kepada infeksi yang terjadi pada pasien gangguan sistem imun atau yang manifestasinya melibatkan mata. Pada pasien tertentu, pengobatan dini dengan antivirus dan mungkin kortikosteroid telah menunjukkan penurunan lamanya penyakit dan untuk mencegah atau memperbaiki komplikasi.

Patofisiologi
Penyebab mengapa tepatnya VZV menjadi reaktif belum dipahami sepenuhnya. Bagaimanapun, kekebalan spesifik dengan perantara sel terhadap VZV menjadi faktor utama dalam menentukan reaktivasi VZV. Kekebalan ini menurun seiring dengan pertambahan usia dan pada pasien dengan keganasan. Kelompok pasien ini lebih sering terkena herpes zoster. Pasien dengan hypogammaglobulinemia (suatu defek kekebalan humoral, namun seluluernya tidak) tidak lebih sering menderita zoster. Ini menyokong pemikiran bahwa kekebalan yang diperantarai sel memiliki peranan penting dalam pathogenesis terjadinya infeksi VZV.
Reaktivasi VZV menyebabkan inflamasi pada akar dorsal ganglion disertai nekrosis hemoragik dari sel-sel saraf sehingga terjadi hilangnya neuron dan terbentuk fibrosis. Distribusi rash berhubungan dengan daerah sensorik dari neuron yang terinfeksi di dalam ganglion tertentu. Lokasi anatomis dari dermatom yang terlibat seringkali menentukan manifestasi yang mungkin timbul (misalnya herpes zotster oftalmikus menyebabkan komplikasi mata bila melibatkan ganglion trigeminus).

Frekuensi
Sekitar 95% orang dewasa di Amerika Serikat memiliki antibodi terhadap virus varicella-zoster dan rentan terhadap munculnya reaktivasi. Seseorang dengan usia berapapun dapat menderita zoster, namun insidensnya meningkat seiring dengan usia akibat menurunnya kekebalan. Sekitar 4% pasien dengan zoster akan mengalami episode berulang atau kekambuhan di kemudian hari.
Penelitian terhadap pasien di sebuah health maintenance organization (HMO) di Amerika menunjukkan 1075 kasus sejak tahun 1990-1992. Berikut karakteristik yang tercatat:
•Indisens saat itu 215 per 100.000 orang per tahun
•Pasien lanjut usia memiliki risiko lebih besar (1424 kasus per 100.000 orang per tahun uuntuk usia >75 tahun)
•kurang dari 5% kasus terjadi pada anak-anak dan dewasa muda
•3 dari 4 pasien dengan zoster yang rekuren atau kambuh menderita HIV positif
Mortalitas/Morbiditas
•Komplikasi umum herpes zoster adalah neuralgia post herpetik, yaitu nyeri yang menetap lebih dari 1 bulan setelah penyembuhan rash vesikuler. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien berusia >50 tahun. Neuralgia post herpetik dapat terjadi sebagai kelanjutan nyeri yang menyertai herpes zoster akut, atau mungkin terjadi mengikuti reaktivasi zoster yang sudah sembuh. Nyeri dari neuralgia postherpetik biasanya berkurang dalam 6 bulan. Namun sekitar 1 % pasien terus menderita nyeri selama satu tahun atau lebih.
•Herpes zoster dapat dikaitkan dengan infeksi bakteri sekunder di daerah yang terkena rash (biasanya streptokokus atau stafilokokus)
•Hepes zoster yang melibatkan cabang ke dua nervus trigeminus dapat menyebabkan terjadinya konjungtivitis, keratitis, ulkus kornea, iridosiklitis, glaukoma, dan kebutaan.
•Komplikasi dari sindrom Ramsay Hunt (zoster yang melibatkan nervus kranialis V, IX, dan X) dapat meliputi kelemahan nervus fasialis perifer dan ketulian.
•Meningoensefalitis sekunder pada herpes zoster sepertinya lebih sering terlihat pada penderita immunocompromised daripada pasien yang immunocompetent. Komplikasi SSP lainnya dapat meliputi myelitis, kelumpuhan saraf kranial, dan angiitis granulomatosa. Angiitis granulomatosa dapat menyebabkan berkembangnya gangguan serebrovaskuler.
•Zoster yang bersifat diseminata dapat terlihat pada pasien immunocompromised. Pada beberapa kasus, penyebaran secara hematogen dapat menyebabkan terlibatnya beberapa dermatom. Selain itu juga dapat terjadi gangguan viseral. Keterlibatan sistemik ini dapat berakhir dengan kematian akibat ensefalitis, hepatitis, atau pneumonitis.
Ras
Orang berkulit hitam memiliki ¼ kali kemungkinan terkena herpes zoster dibandingkan orang kulit putih
Jenis Kelamin
Insidens sama antara pria dan wanita
Usia
Insidens herpes zoster meningkat seiring usia. Sekitar 80% kasus terjadi pada orang berusia >20 tahun. <5%>

KLINIS
Riwayat
Nyeri prodromal mendahului munculnya rash pada sekitar 75% pasien, secara khas terbatas pada distribusi dermatom yang sama. Awalnya terbentuk vesikel, kemudian rash ini menjadi pustul dan kemudian terbentuk krusta setelah >7-10 hari. Sama seperti cacar air, begitu terbentuk krusta maka lesinya tidak lagi infeksius. Jaringan parut dan hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dapat menetap untuk jangka waktu lama.
•Kebanyakan pasien menyatakan nyeri yang timbul berupa rasa seperti terbakar, berdenyut, atau ditusuk-tusuk
•Area yang terkena teraba lunak
•Rash dapat terasa gatal
•Tergantung dermatom yang terlibat, nyeri dapat berhubungan dengan gejala etiologi lainnya, seperti kolik renalis, nyeri bilier, atau sindrom koroner akut
•Zoster umumnya terbatas dalam satu dermatom atau seringkali dua atau tiga dermatom yang berbatasan pada host normal
•Dermatom thoraks adalah tempat tersering, diikuti oleh dermatom lumbalis
•kurang dari 20% pasien mengalami gejala sistemik seperti sakit kepala, demam, malaise, atau fatigue
•Lamanya nyeri bervariasi, namun biasanya kurang dari 1 bulan
o Nyeri yang bertahan lebih dari satu bulan mengarah kepada postherpetik neuralgia
o 10-15% pasien akan menderita nyeri selama lebih dari satu bulan
o Zoster sine herpete adalah nyeri dan parestesi sepanjang dermatom tanpa adanya gejala yang terlihat pada kulit

Pemeriksaan Fisik
•Temuan utama pada pemeriksaan fisik adalah rash yang tersebar pada dermatom unilateral; di mana rash tersebut dapat membentuk eritem, vesikel, pustule, atau krusta, tergantung pada tahapan penyakit.
o Rash yang muncul berbentuk khas “herpetik”: vesikel-vesikel kecil berkelompok pada dasar yang eritematous. Seringkali dideskripsikan sebagai “tetesan embun di atas kelopak mawar”
o Jarang terjadi rash bilateral
o Lesi zoster timbul secara simultan dan menetap pada tahap penyembuhan yang sama
o Lesi pada ujung hidung menunjukkan adanya keterlibatan nervus nasosiliaris; temuan ini mengharuskan dilakukannya pemeriksaan slit-lamp dengan pewarnaan fluoresens untuk mencari adanya lesi kornea dari keratitis herpetik
•Temuan pada pemeriksaan fisik juga bergantung pada dermatom yang terlibat, misalnya sbb:
o Ulkus kornea
o Limfadenopati regional
o Kelumpuhan saraf cranial
o Kelumpuhan nervus fasialis perifer
o Delirium, konfusi, koma (pada pasien dengan meningoensefalitis)

Penyebab
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi VZV
Diagnosis Banding
Apendisitis akut
Bell’s palsy
Kolesistitis dan kolik bilier
Konjungtivitis
Ulkus kornea dan keratitis ulseratif
Glaukoma akut sudut tertutup
Herpes simpleks
Herpes zoster
Herpes zoster oftalmikus
Herpes zoster otikus
Batu ginjal
Neuralgia trigeminal
Masalah lain yang perlu dipertimbangkan
Coxsakievirus
Pyoderma superficial
WORKUPS
Laboratorium
•Diagnosis herpes zoster terutama didasarkan pada temuan klinis, terutama dari lokasi dan bentuk erupsi kulit yang khas dan berhungan dengan nyeri yang terlokalisasi. Namun pada beberapa pasien, gambaran herpes zoster dapat tidak khas dan mungkin memerlukan beberapa pemeriksaan tambahan. Hal ini sangat nyata pada pasien dengan gangguan imunitas.
•Virus varicella-zoster dapat dikultur; hal ini memiliki kegunaan terbatas hanya dalam penelitian karena memerlukan waktu lama untuk pertumbuhan virusnya.
•Jika diperlukan, diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan mengirimkan hasil swab ke laboratorium. Angkat bagian puncak lesi dan lakukan swab pada dasar lesi. Kemudian buat sediaan hapus yang dikeringkan di udara lalu dikirim ke laboratorium untuk pewarnaan dengan antibody immunoflurescent. Swab ini juga dapat ditempatkan di dalam media transport untuk mendeteksi adanya DNA virus menggunakan PCR (polymerase chain reaction).
•Percobaan Tzanck dapat diperoleh dari lesi vesikuler, namun percobaan ini tidak dapat membedakan jenis-jenis infeksi virus varicella-zoster seperti herpes zoster dengan herpes simpleks
•Bila ada indikasi, pengobatan dilakukan secara empiris, jangan menunda pengobatan untuk menunggu hasil tes diagnostik
Uji Lainnya
•Uji antibodi monoklonal
•Uji sel mononuklear darah untuk mencari DNA virus (penelitian)
Prosedur
•Biopsy untuk uji imunofluoresens direk (jarang dilakukan)

PENATALAKSANAAN
Perawatan di Unit Gawat Darurat
Pengobatan simtomatis
•Pasien dengan herpes zoster biasanya mengalami nyeri. Terapi dengan antivirus dan steroid hanya sedikit meredakan nyeri, sehingga seringkali diperlukan pemberian analgetik.
o Terapi awal dapat meliputi obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)
o Pada beberapa kasus diperlukan analgetik narkotik
•Kompres dengan pembalut menggunakan air keran atau 5% alumunium asetat (larutan Burow). Diletakkan pada kulit yang terkena selama 30-60 menit 4-6 kali sehari
•Losion yang lembut (misalnya lotio Calamina) dapat membantu mengurangi rasa tidak nyaman
Terapi antivirus untuk herpes zoster tanpa komplikasi
Sasaran pemberian terapi antiviral adalah untuk mengurangi nyeri, untuk meningkatkan penyembuhan lesi kulit, dan untuk mencegah atau mengurangi tingkat keparahan neuralgia posherpetik. Asiklovir dan antivirus yang lebih baru valasiklovir dan famsiklovir telah menunjukkan efektivitasnya jika diberikan dalam 48-72 jam dari munculnya rash. Agen yang terbaru memiliki bioavailabilitas yang lebih baik dan tidak perlu diberikan terlalu sering. Hasil penelitian meliputi waktu yang diperlukan lesi kulit sampai terbentuknya krusta, durasi dan berat ringannya nyeri akut serta durasi dan insidens terjadinya neuralgia postherpetik.
Asiklovir merupakan antivirus yang paling banyak diteliti dan dianjurkan, namun dalam percobaan perbandingan secara tertutup dan random ditemukan bahwa valasiklovir lebih baik daripada asiklovir. Percobaan ini menyertakan lebih dari 1100 pasien dengan herpes zoster tanpa komplikasi dengan usia lebih dari 50 tahun. Ditemukan efek samping yang serupa pada kedua kelompok. Hasil evaluasi akhir meliputti kesembuhan dari nyeri akut dan lamanya neuralgia postherpetik.
Lamanya pengobatan menggunakan antivirus pada penelitian bervariasi antara 7-21 hari. Berdasarkan literatur terbaru, untuk pasien yang imunokompeten diberikan asiklovir selama 7-10 hari atau 7 hari untuk antivirus yang terbaru. Pasien dengan immunocompromise mungkin memerlukan waktu pemberian yang lebih lama.
Terapi kombinasi antivirus dan kortikosteroid untuk herpes zoster tanpa komplikasi
Penambahan kortikosteroid telah dievaluasi pada pasien yang diobati dengan asiklovir. Manfaat steroid terdiri dari percepatan proses penyembuhan lesi dan resolusi nyeri akut yang lebih cepat. Meskipun secara statistik signifikan, namun manfaatnya tidak banyak. Tidak ada efek terhadap perkembangan atau durasi neuralgia postherpetik.
Steroid belum diteliti bersama valasiklovir atau famsiklovir, jadi belum diketahui manfaatnya. Penambahan terapi steroid perlu dipertimbangkan hanya untuk pasien dengan gejala berat. Steroid tidak boleh diberikan sendiri (tanpa terapi antivirus) karena ditakutkan malah akan mendukung terjadinya replikasi virus. Pengaruh steroid pada infeksi sekunder kulit belum diketahui. Beberapa pengarang menyatakan bahwa steroid dapat meningkatkan risiko. Prednison 40-60 mg/hari, merupakan pilihan yang baik jika diperlukan penggunaan steroid. Lamanya pemberian terapi steroid untuk hasil optimal belum diketahui. Jika diberikan, pemberian steroid bersamaan dnegan terapi antiviral nampaknya cukup beralasan. Lamanya pemberian steroid ini tidak boleh lebih lama daripada pemberian antiviral.
Penatalaksanaan herpes zoster dengan komplikasi
Pasien yang penekanan sistem imun memiliki risiko infeksi kulit yang lebih luas atau menderita penyakit yang lebih luas. Meskipun belum ada bukti kuat, berikut adalah beberapa yang perlu diperhatikan dalam mengobati herpes zoster pada kelompok pasien ini.
•Berikan antivirus pada semua pasien dengan penekanan sistem imun, meskipun onset gejala sudah lebih dari 72 jam.
•Jika memilih valasiklovir sebaiknya diberikan secara per oral
•Pertimbangkan pengobatan menggunakan asiklovir intravena untuk pasien-pasien berikut:
o Pasien transplantasi segera setelah transplantasi dilakukan atau saat perawatan untuk mencegah reaksi penolakan
o Pasien dengan HIV lanjut
o Pasien dengan keterlibatan kulit luas atau penyakit viseral
Penatalaksanaan herpes zoster oftalmikus
Dua percobaan untuk membandingkan antara famsiklovor atau valasiklovir pada pasien dengan herpes zoster oftalmikus menunjukkan hasil yang seimbang antara keduanya.
Konsultasi
Konsultasi pada umumnya tidak diperlukan pada pasien tanpa komplikasi. Pasien dengan herpes zoster oftalmik bianya perlu dikonsulkan kepada oftalmologis. Konsultasi dengan penyakit menular atau spesialis lain yang tepat perlu dipertimbangkan pada kasus zoster diseminata atau zoster yang melibatkan viseral. 

PENGOBATAN
Sasaran pada terapi herpes zoster adalah untuk (1) mempersingkat pengobatan klinis, (2) pemberian analgetik, (3) pencegahan komplikasi, dan (4) menurunkan insidens neuralgia postherpetik. Meteanalisis dan percobaan acak terkontrol menunjukkan bahwa pemberian agen-agen antiviral asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir yang dimulai dalam 72 jam setelah munculnya rash, akan menurunkan beratnya penyakit dan lamanya nyeri akut, diikuti dengan menurunnya insidens neuralgia postherpetik.
Kategori obat: Antivirus
Antivirus asiklovir dapat menurunkan insidens neuralgia postherpetik. Famsiklovir dan valasiklovir (2 agen antivirus dengan kandungan menyerupai asiklovir) menawarkan pemberian dosis regimen yang lebih baik dibandingkan asiklovir namun belum banyak diteliti.
Nama Obat Asiklovir
Deskripsi Mengurangi lamanya lesi simtomatik. Diindikasikan bagi pasien yang onset rashnya muncul dalam 48 jam. Pasien yang diobati menunjukkan berkurangnya nyeri dan penyembuhan lesi kulit yang lebih cepat
Dosis Dewasa Dewasa immunocompromised: 800mg PO tiap 4 jam (5 kali/hari) selama 7-10 hari; alternatif lain: 10 mg/kg/dosis atau 500 mg/m2/dosis IV tiap 8 jam
Dosis Pediatrik Anak immunocompromised: 250-600 mg/m2/dosis PO 4-5 kali/hari selama 7-10 hari; alternative lain: 10 mg/kg/dosis atau 500 mg/m2/dosis IV tiap 8 jam
Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas
Interaksi Probenesid atau zidovudin memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas SSP
Kehamilan B – risiko terhadap janin belum diketahui pada manusia namun telah terlihat pada beberapa studi terhadap hewan
Pencegahan Perhatian bagi penderita gagal ginjal atau pemberian bersama dengan obat-obat nefrotoksik lainnya
Nama Obat Famsiklovir
Deskripsi Merupakan suatu prodrug, yang jika mengalami biotransformasi maka metabolit aktifnya, pensiklovir, dapat menghambat sintesis atau replikasi DNA virus
Dosis Dewasa 500 mg PO tiap 8 jam selama 7 hari
Dosis Pediatrik Belum ditentukan
Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas
Interaksi Probenesid atau simetidin dapat meningkatkan toksisitas; meningkatkan bioavailabilitas digoksin
Kehamilan B – risiko terhadap janin belum diketahui pada manusia namun telah terlihat pada beberapa studi terhadap hewan
Pencegahan Perhatian bagi penderita gagal ginjal atau pemberian bersama dengan obat-obat nefrotoksik lainnya
Nama Obat Valasiklovir
Deskripsi Merupakan suatu prodrug yang secara cepat diubah menjadi asiklovir sebelum menggunakan aktivitas antivirusnya. Lebih mahal, namun pemberian dosis lebih nyaman dibandingkan asiklovir.
Dosis Dewasa 1000 mg PO setiap 8 jam selama 7 hari
Dosis Pediatrik Belum ditentukan
Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas
Interaksi Probenesid, zidovudin, atau simetidin memperpanajng waktu paruh dan meningkatkan toksisitas terhadap SSP
Kehamilan B – risiko terhadap janin belum diketahui pada manusia namun telah terlihat pada beberapa studi terhadap hewan
Pencegahan Perhatian bagi penderita gagal ginjal atau pemberian bersama dengan obat-obat nefrotoksik lainnya; dihubungkan dengan munculnya hemolytic uremic syndrome
Kategori obat: Kortikosteroid
Obat ini memiliki unsur sebagai antiinflamasi dan menyebabkan efek metabolik yang besar dan bervariasi. Kortikosteroid mengubah respon imun tubuh terhadap berbagai rangsangan. Tambahan prednison oral terhadap pemberian asiklovir menunjukkan berkurangnya nyeri, mempercepat penyembuhan lesi, dan memungkinkan penderita pulih lebih cepat untuk kembali menjalani aktivitas sehari-hari.
Nama Obat Prednison
Deskripsi Kortikosteroid tambahan terhadap asiklovir menghasilkan penurunan nyeri akut namun tidak menurunkan nyeri jangka panjang. Salah satu studi juga menunjukkan adanya penyembuhan awal rash yang lebih cepat, meskipun waktu yang diperlukan untuk penyembuhan rash secara sempurna tidak berubah
Dosis Dewasa 60 mg/hari PO diturunkan perlahan lebih dari 3 minggu
Dosis Pediatrik 0,05-2 mg/kg PO terbagi dalam dua sampai tiga kali/hari; turunkan perlahan dalam 2 minggu
Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas; infeksi virus, jamur, tuberkulosis kulit, infeksi jaringan ikat; ulkus peptikum; gangguan fungsi hati; perdarahan atau ulserasi saluran cerna
Interaksi Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan klirens; penggunaan bersamaan digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis sekunder akibat hipokalemia; fenobarbital, fenitoin, dan rifampisin dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid (pertimbangkan untuk meningkatkan dosis pemeliharaan); awasi kemungkinan hipokalemia dengan pemberian bersamaan diuretik
Kehamilan B – risiko terhadap janin belum diketahui pada manusia namun telah terlihat pada beberapa studi terhadap hewan
Pencegahan Penghentian obat secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema, osteonekrosis, miopati, ulkus peptikum, hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, gangguan pertumbuhan, dan infeksi dapat terjadi pada penggunaan glukokortikoid
Kategori obat: Analgetik
Pengendalian nyeri sangat penting dalam kualitas perawatan pasien. Analgetik meningkatkan kenyamanan pasien, meningkatkan bersihan paru, dan memungkinkan terapi pengaturan fisik. Sebagian besar analgetik memiliki unsure sedatif yang bermanfaat bagi pasien dengan lesi kulit.
Nama Obat Asetaminofen
Deskripsi DOC untuk pengobatan nyeri pada pasien yang (1) memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap aspirin atau AINS, (2) memiliki penyakit saluran cerna atas, atau (3) meminum obat-obatan antikoagulan. Mengurangi demam dengan kerjanya yang langsung terhadap pusat pengaturan suhu di hipotalamus, yang meningkatkan penurunan suhu tubuh melalui vasodilatasi dan berkeringat
Dosis Dewasa 325-650 mg PO setiap 6 jam, atau 1000mg tiga/empat kali sehari; jangan >4 g/hari
Dosis Pediatrik kurang dari 12tahun: 10-15 mg/kg/dosis PO tiap 4 sampai 6 jam prn, jangan lebih dari 2,6 g/hari
>12 tahun: 650 mg tiap 4 jam; jangan >5 dosis dalam 24 jam
Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas; defisiensi G-6-P
Interaksi Rifampisin dapat menurunkan efek annalgesik; barbiturat, karbamazepin, hidantoin, dan isoniazid dapat meningkatkan hepatotoksisitas
Kehamilan B – risiko terhadap janin belum diketahui pada manusia namun telah terlihat pada beberapa studi terhadap hewan
Pencegahan Hepatotoksisitas mungkin terjadi pada alkoholik kronis mengikuti kadar dosis yang bervariasi; nyeri berat atau rekuren atau demam tinggi atau terus menerus dapat mengindikasikan adanya penyakit serius; asetaminofen terdapat pada banyak produk obat yang dijual bebas, dan penggunaan dengan kombinasi dengan produk-produk ini dapat menyebabkan akumulasi dosis asetaminofen sehingga melebihi dosis maksimum yang dianjurkan
Nama Obat Ibuprofen
Deskripsi DOC untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang, jika tidak terdapat kontraindikasi. Menghambat reaksi inflamasi dan nyeri,mungkin melaluipenurunan aktivitas enzim siklooksigenase, yang akhirnya menghambatsintesis prostaglandin. Merupakan salah satu dari AINS yang dapat digunakan sebagai penurun panas.
Dosis Dewasa 200-400 mg PO setiap 4-6 jam selama masih ada gejala; jangan >3,2 g/hari
Dosis Pediatrik kurang dari 16 tahun: tidak direkomendasikan karena berkaitan dengan sindrom Reye
>16 tahun: dosis sesuai dewasa
Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas; ulkus peptikum; perforasi atau perdarahan saluran cerna baru-baru ini; insufisiensi renal; risiko tinggi terjadi perdarahan
Interaksin Aspirin meningkatkan risiko efek samping AINS yang serius; probenesid dapat meningkatkan konsentrasi dan, mungkin, toksisitas; dapat menurunkan efek hidralazin, captopril, dan beta-blocker; dapat menurunkan efek diuretik dari furosemid dan thiazide; dapat meningkatkan PT pada pasien yang mendapatkan obat antikoagulan (awasi PT dan minta pasien untuk mengamati tanda-tanda perdarahan); dapat meningkatkan risiko keracunan metotreksat; dapat meningkatkan kadar fenitoin
Kehamilan D – risiko janin pada manusia; digunakan hanya jika manfaat lebih besar daripada risiko terhadap jannin
Pencegahan Hati-hati pemberian pada gagal jantung kongestif, hipertensi, serta penurunan fungsi ginjal dan hati; perhatian pada abnormalitas koagulasi darah atau selama terapi menggunakan antikoagulan
Kategori Obat: Vaksin
Agen ini menghasilkan imunisasi aktif untuk meningkatkan resistensi tehadap infeksi. Vaksin mengandung mikroorganisme yang dilemahkan atau komponen seluler, yang bekerja sebagai antigen. Pemberian vaksin akan merangsang produksi antibodi dengan unsur protektif tertentu.
Nama Obat Vaksin varicella zoster
Deskripsi Preparat strain virus varicella zoster hidup yang dilemahkan. Terbukti meningkatksn imunitas terhadap virus herpes zoster (shingles) pada pasien lansia. Mengurangi timbulnya shingles pada orang berusia >60 tahun sampai sekitar 50%. Untuk yang berusia 60-69 tahun, ia mengurangi timbulnya shingles sampai 64%. Juga dapat sedikit mengurangi nyeri dibandingkan tanpa vaksinasi pada mereka yang menderita shingles.diindikasikan sebagai pencegahan herpes zoster terhadap pasien berusia >60 tahun tanpa kontraindikasi
Dosis Dewasa kurang dari 60 tahun: belum ditentukan
> 60 tahun: mengikuti keseluruhan isi dalam vial, gunakan jarum steril dan spuit yang terpisah untuk menarik seluruh isi vial dan diberikan secara SC; pada lengan kanan atas
Dosis Pediatrik Tidak diindikasikan
Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas terhadap vaksin atau komponennya (misalnya gelatin, neomisin); riwayat imunodefisiensi didapat atau sekunder (misalnya leukemia, limfoma, keganasan yang mempengaruhhi sumsum tulang atau system limfatik, AIDS); terapi yang bersifat imunosupresif termasuk kortikosteroid dosis tinggi; tuberculosis aktif yang tidak diobati
Interaksin Belum ada yang dilaporkan
Kehamilan C – Risiko terhadap janin terlihat pada penelitian pada hewan, namun belum dipastikan atau belum dilakukan penelitian terhadap manusia; dapat digunakan bila manfaat lebih besar daripada risiko terhadap janin
Pencegahan Efek samping umum meliputi eritema, nyeri, pembengkakan, gatal, dan inflamasi pada daerah suntuikan; juga dapat menyebabkan sakit kepala; dapat menyebabkan ruam luas akibat vaksin atau penyakit diseminata pada penderita yang menjalani terapi imunosupresif (lihat kontraindikasi); tunda vaksinasi jika terdapat demam atau penyakit akut; jangan disuntikkan secara intravaskuler; berikan dalam 30 menit; bukan merupakan pengganti vaksin virus varicella untuk anak-anak

FOLLOW-UP
Pencegahan
•Secara teoritis, vaksin varicella yang baru diberikan akan mengurangi insidens zoster
•Saat ini sedang dikembangkan vaksin untuk mencegah herpes zoster pada individu yang sebelumnya terinfeksi virus varicella zoster
•Pasien dengan zoster dapat menularkan virusnya, menyebabkan varicella (chickenpox) pada orang yang rentan

Komplikasi
•Neuralgia postherpetik
•Gangguan mata dengan zoster fasialis
•Meningoensefalitis
•Penyebaran kutaneus
•Superinfeksi pada lesi kulit
•Hepatitis/pneumonitis
•Kelemahan motorik perifer/mielitis segmental
•Sindrom nervus kranialis, khususnya oftalmikus dan fasilis (sindrom Ramsay Hunt)
•Ulkus kornea
•Sindrom Guillain-Barre
Prognosis
•Ruam biasanay sembuh dalam 14 sampai 21 hari
•Neuralgia postherpetik didefinisikan sebagai nyeri menetap sedikitnya 1 bulan setelah rash sembuh. Insidensnya meningkat secara dramatis seiring dengan usia (yaitu 4% pada yang berusia 30-50 tahun, 50% pada pasien yang berusia >80 tahun)

LAIN-LAIN
Medical/Legal Pitfalls
•Kegagalan dalam mengenali keterlibatan nervus nasosiliaris yang ditunjukkan oleh adanya lesi pada ujung hidung; oleh karena itu gagal melakukan pemeriksaan slit-lamp dengan pewarnaan fluoresein untuk mengidentifikasi adanya lesi dendritik di kornea dari keratitis herpetik
•Kegagalan dalam memberikan antivirus untuk penderita immunocompromised
•Pemberian steroid tanpa disertai terapi berupa antivirus
Sumber:
Krause RS. Herpes zoster. www.emedicine.com