Jumat, 06 Agustus 2010

FORENSIK

SYOK ANAFILAKTIK

Pendahuluan

Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel. Karena hipoksia pada syok terjadi gangguan metabolisme sel, sehingga dapat terjadi gangguan irreversibel pada jaringan organ vital. Bila terjadi kondisi seperti ini penderita meninggal dunia. Syok bukan merupakan penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan.

Syok dapat terjadi karena kehilangan cairan dalam waktu singkat dari ruang intravaskuler (syok hipovolemik), kegagalan kuncup jantung (syok kardiogenik), infeksi sistemik berat (syok septik), reaksi imun yang berlebihan (syok anafilaktik), dan reaksi vasovagal (syok neurogenik).

Anaphylaxis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana artinya jauh dan phylaxis artinya perlindungan. Secara bahasa artinya adalah menghilangkan perlindungan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Portier dan Richet pada tahun 1902 ketika memberikan dosis vaksinasi dari anemon laut untuk kedua kalinya pada seekor anjing. Hasilnya, anjing tersebut mati mendadak.

Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut sistemik dan termasuk reaksi Hipersensivitas Tipe I pada manusia dan mamalia pada umumnya. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid. Gejala, terapi, dan risiko kematiannya sama tetapi degranulasi sel mast atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE.

Pada kematian akibat reaksi anafilaksis, onset gejala biasanya muncul pada 15 hingga 20 menit pertama, dan menyebabkan kematian dalam 1-2 jam. Reaksi anafilaktik yang fatal terjadi akibat adanya distress pernafasan akut dan kolaps sirkulasi.
Pada kasus-kasus syok anafilaktik yang menyebabkan kematian inilah aspek-aspek medikolegal perlu diperhatikan. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya, kasus-kasus seperti ini akan dipertanyakan oleh masyarakat apakah termasuk tindakan malpraktek atau tidak. Dalam referat ini, selain akan dipaparkan aspek klinis dari syok anafilaktik, sedikit pembahasan tentang sudut medikolegalnya akan turut pula disertakan.

Defenisi

Anafilaksis adalah reaksi alergi umum pada beberapa system organ terutama kardiovaskular, respirasi, kulit dan gastrointestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya allergen yang sebelumnya sudah tersensitasi.

Sedangkan syok anafilaktik merupakan tipe paling berat dari reaksi anafilaksis. Muncul ketika respon alergi memacu pelepasan cepat mediator imunologis dari sel mast dalam jumlah besar yang menyebabkan vasodilatasi sistemik (dihubungkan dengan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba) dan edema mukosa bronchial (menghasilkan bronkokontriksi dan kesulitan nafas). Hal ini bisa menyebabkan kematian dalam hitungan menit jika tidak segera ditangani.

Etiologi

Adapun beberapa alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Alergen yang Menimbulkan Reaksi Anafilaktik
Makanan Krustasea : lobster, udang, kepiting
Moluska : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Obat Hormon : insulin, PTH, ACTH, vasopressin, relaxin
Enzim : tripsin, chymotripsin, penicillinase, asparaginase
Vaksin dan darah
Toxoid : ATS, ADS, SABU
Ekstrak allergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotik : Penisilin, streptomisin, tetrasiklin, ciprofloksasin, amphotericin B, nitrofurantoin
Agen diagnostic kontras
Vitamin B1 dan asam folat
Agen anastesi : lidokain, prokain
Lain-lain : barbiturate, diazepam, phebitoin, protamine, aminopyrine, acetyl cystein, codein, morfin, asam salisilat, HCT
Bisa serangga Lebah madu, jaket kuning, semut api, tawon
Lain-lain Lateks, karet, glikoprotein seminal fluid

Tabel 2. Frekuensi Beberapa Agen Penyebab Reaksi Anafilaksis dan Kematian di Amerika Serikat :
Agen Frekuensi Rx Sedang Frekuensi Rx Berat Kematian per Tahun
Penisilin 0,5-1 % 0,04 % 400-800
Sengatan 0,5 % 0,05 % ≥ 100
Media kontras 5 % 0,1 % 250-1000
Dari Lavine SJ, Shelhamer JH: Anaphylaxis. In: Critical Care. Civetta JM, Raylor RW, Kirby RR (editors). Lippincott, 1992

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kematian akibat reaksi anafilaksis sistemik kira-kira 1500-2000 kematian per tahun. Kasus nonfatal lebih sering muncul, yakni sekitar0,2 % dari populasi setiap tahunnya. Prevalensi kunjungan ke bagian kegawatdaruratan kira-kira 2 per 10.000 penduduk sampai 5 per 10.000 penduduk. Neugut et al memperkirakan bahwa 1-15 % dari populasi Amerika Serikat berada dalam risiko mendapatkan reaksi anafilaktik atau reaksi anafilaktoid. Lebih lanjut, mereka memperkirakan rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan adalah 0,0004%, 0,7-10% untuk penisilin, 0,22-1% untuk media radiokontras, dan 0,5-5% untuk gigitan serangga.

Faktor Risiko

Atopi merupakan faktor risiko. Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi merupakan faktor risiko untuk reaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi oleh latihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.

Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi setelah menelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.

Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.

Penundaan pemberian epinefrin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal.

Patofisiologi

Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (immediate type reaction) oleh Coomb dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan allergen. Anafilaksis diperantarai melalui ikatan antigen kepada antibodi IgE pada sel mast jaringan ikat di seluruh tubuh individu dengan predisposisi genetik, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut.

1.Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran pencernaan yang ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T yang akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi limfosit B berfloriferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Plasmosit akan memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat padareseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan Basofil.

2.Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

3.Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas selmast.

Reaksi hipersensitifitas tipe I
Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th2. IgE diikat oleh sel mast dan basofil melalui reseptor Fc. Sel mast banyak ditemukan pada jaringan ikat di bawah permukaan epitel, termasuk pada jaringan submukosa traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, dan pada lapisan dermis kulit. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tesebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil. Akibat ikatan antigen IgE, sel mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator antara lain histamin, leukotrien, dan prostaglandin.Respon fisiologis terhadap mediator tersebut antara lain spasme otot polos pada traktus respiratorius dan gastrointestinal, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan stimulasi ujung saraf sensorik. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala klasik anafilaksis seperti flushing (kemerahan), urtikaria, pruritus, spasme otot bronkus, dan kram pada abdomen dengan nausea, vomitus, dan diare. Hipotensi dan syok dapat tejadi sebagai akibat dari kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi miokard. Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang extravaskuler dalam 10 menit.
Histamin memperantarai efek tersebut di atas melalui aktivasi resptor histamin 1 (H1) dan histamin 2 (H2). Vasodilatasi diperantarai oleh baik reseptor H1 maupun H2. reseptor H2 membeikan efek langsung pada otot polos sementara reseptor H1 menstimulasi sel endotel untuk memproduki NO. Efek pada jantung sebagian besar diperantarai oleh reseptor H2. Resptor H1 secara primer bertanggungjawab untuk kontraksi otot polos extravaskular (misalnya otot bronkus dan otot gasrointestinal).
Reaksi sistemik akut umumnya mulai timbul beberapa menit setelah pemaparan alergen; keterlambatan yang lebih lama dari 1 jam sangat jarang terjadi. Pada kepekaan yang ekstrim, penyuntikan alegen dapat segera menyebabkan keatian atau reaksi subletal dan umumnya reaksi-reaksi yang paling berat terjadi paling cepat.
Para peneliti secara khusus membedakan anafilaksis dengan reaksi anafilaktoid. Dimana keduanya memiliki gejala, penatalaksanaan, dan resiko kematian yang sama, tetapi pada anafilaksis degranulasi sel mast atau basofil selalu diperantarai oleh IgE, sedangkan pada reaksi anafilaktoid degranulasi sel mast atau basofil tidak diperantarai oleh IgE.

Manifestasi Klinik

Pada sebagian besar studi, frekuensi gejala dan tanda anafilaksis dikelompokkan berdasarkan sistem organ. Pada studi Olmsted County, ditemukan 100 % pasien mengalami manisfestasi kulit, studi lain menyebutkan 90 % pasien mengalami manifestasi kulit, 69 % bermanifetasi pada system respiratorius, 41 % melibatkan system kardiovaskuler, dan 24 % bermanifestasi pada oral atau gastrointestinal.
Pasien seringkali awalnya melaporkan gatal dan kemerahan pada kulit yang kemudian diikuti gejala berikut :
a.Kulit : flushing (kemerahan), urtikaria, angioedema, pruritus, dan bengkak.
b.Respiratorius : diawali dengan rasa penuh pada tenggorokan,yang kemudian menjadi dyspnea,disfonia,suara serak dan batuk, dapat ditemukan wheezing. Jika terjadi edema paru akan timbul sianosis selain dyspnea. Selain itu dapat ditemukan rhinorrhea dan kongesti nasal.
c.Kardiovaskular : diawali dengan rasa kelemahan dan pingsan (fainting) yang dapat disertai dengan aritmia, gangguan konduksi, dan iskemia miokardial, palpitasi.
d.Gastrointestinal : nausea, vomitus, diare, kram.
e.Neurologik : sakit kepala (jarang).

Gejala biasanya mulai dalam 5-30 menit dari waktu setelah antigen disuntikkan tetapi dapat terjadi dalam beberapa detik. Jika antigen tersebut ditelan, gejala umumnya muncul dalam 2 jam, walaupun gejala seringkali muncul lebih cepat. Pada kasus yang jarang, gejala dapat tertunda onsetnya selama beberapa jam.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan :
a.Respiratorius :
1.Angioedema pada lidah dan bibir dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas
2.Edema laring yang dapat bermanifestasi sebagai stridor atau haus akan udara yang berat.
3.Kehilangan suara, suara nafas yang kasar (hoarseness), dan atau disfagia dapat terjadi
4.Bronkospasme, edema jalan nafas, dan hipersekresi mukus yang bermanifestasi menjadi wheezing.
5.Hipoksia yang dapat mengganggu status mental
b.Kardiovaskular :
1.Takikardia, sebagai kompensasi terhadap kehilangan volume intravaskular.
2.Hipotensi akibat kelemahan kapiler, vasodilatasi, dan hipoksik miokardial.
c.Mukokutan :
1.Kemerahan (flushing) terutamadi pipi. Urtikaria dapat terjadi di seluruh tubuh. Lesi eritematous, meninggi, sangat gatal, dan ukurannya bervariasi.
2.Angioedema yang melibatkan lapisan dermal kulit dan biasanya tidak gatal dan nonpitting. Biasanya ditemukan pada laring, bibir, kelopak mata, tangan, kaki, dan genital. Edema pada laring dapat mematikan oleh karena obstruksi pernafasan.
d.Gastrointestinal : vomitus, diare, dan distensi abdomen

Pemeriksaan Labolatorium

Peningkatan hematokrit umumnya ditemukan sebagai akibat dari hemokonsentrasi karena peningkatan permeabilitas vaskuler. Serum tryptase sel mast biasanya meningkat

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan syok dimulai dengan tindakan umum untuk memulihkan perfusi jaringan dan oksigenasi sel. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Untuk perfusi jaringan, diperlukan tekanan darah sekurang-kurangnya 70-80 mmHg supaya kebutuhan metabolit dan zat asam jaringan dapat dipenuhi. Tekanan darah ini dapat dicapai dengan memperhatikan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A) harus bebas, kalau perlu dengan intubasi. Pernafasan (B) harus terjamin, kalau perlu dengan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Pada pasien syok yang menggunakan ventilasi mekanis, kebutuhan oksigen dapat dipenuhi sebesar 20-25%.Defisit volume peredaran darah (C) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemik relatif ( syok septik dan anafilaktik) dapat diatasi dengan pemberian cairan intravena dan memperhatikan fungsi jantung. Adapun tindakan yang dilakukan yaitu :
-Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis
-Torniquet, pasang torniquet di bagian proksimal daerah masuknya obat atau sengatan hewan longgarkan 1-2 menit tiap 10 menit.
-Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari kepala (posisi shock) dengan alas keras.
-Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi-cricotyrotomi-tracheostomi
-Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila tidak bia persiapkandari mulut kemulut
-Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit seimbang atau Nacl fisiologis, 0,5-1liter dalam 30 menit (dosis dewasa) monitoring dengan Tensi dan produksi urine Pertahankan tekanan darah sistole >100mmHg diberikan 2-3L/m2 luas tubuh /24 jam Bila 100 mmHg 500 cc/ 1 Jam
-Bila perlu pasang CVP (Central Venous Pressure)

Medikamentosa

I. Adrenalin 1:1000, 0,3 –0,5 ml SC/IM lengan atas , paha, sekitar lesi pada venom. Dapat diulang 2-3 x dengan selang waktu 15-30 menit, Pemberian IV pada stadium terminal / pemberian dengan dosis1 ml gagal , 1:1000 dilarutkan dalam 9 ml garam faali diberikan 1-2 ml selama 5-20 menit (anak 0,1 cc/kg BB).

II. Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2 mg/kg BB) sampai 50 mg dosis tunggal, PO dapat dilanjutkan tiap 6 jam selama 48 jam bila tetap sesak dan hipotensi segera rujuk, (anak :1-2 mg /kgBB/ IV) maximal 200mg IV

III. Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg BB dilarutkan dalam 10 ml garam faali atau D5, IV selama 20 menit dilanjutkan 0,2 –1,2 mg/kg/jam

IV. Korticosteroid 5-20 mg/kg BB dilanjutkan 2-5 mg/kg selama 4-6 jam, pemberian selama 72 jam .Hidrocortison IV, beri cimetidin 300mg setelah 3-5 menit


Monitoring

-Observasi ketat selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik
-Klinis : keadaan umum, kesadaran, vital sign, produksi urine dan keluhan
-Darah : Gas darah
-EKG

Pemeriksaan Forensik


Kematian pada syok anafilaktik kebanyakan disebabkan oleh kolapsnya jantung dan edema laring oleh obat-obatan, makanan, dan gigitan serangga. Gejala yang timbul pada serangan anafilaksis antara lain pusing, gatal pada kulit, urtikaria, sesak nafas, wheezing, kesulitan dan kegagalan pernafasan. Pada kematian karena anafilaksis, munculnya gejala biasanya berlangsung pada 15-20 menit pertama. Saat pasien meninggal sangat dibutuhkan dokumen (medical record) yang baik tentang perkembangan penyakit pasien mulai dari gejala terjadinya reaksi anafilaksis sampai pasien meninggal. Kematian biasanya terjadi dalam waktu 1-2 jam. Beberapa serangga seperti salah satu jenis semut, bisa yang dihasilkan sangat toksik dan kematian terjadi tanpa berlangsungnya reaksi anafilaktik jika gigitannya banyak.
Reaksi anafilaksis yang fatal menyababkan terjadinya acute respiratory distress atau circulatory collapse. Obstruksi pada saluran pernafasan bagian atas dapat disebabkan oleh edema laring dan pharing. Pada saluran pernafasan bagian bawah disebabkan oleh bronkospasme dengan kontraksi dari otot-otot pernafasan, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Henti jantung mungkin disebabkan karena terhentinya pernafasan, Efek langsung oleh mediator kimia pada syok anafilaksis disebabkan oleh hilangnya cairan intravascular oleh edema dan vasodilatasi

Dalam satu kepustakaan dituliskan Pumphrey dan Roberts melakukan autopsi pada 56 kasus kematian syok anafilaksis. Didapatkan 16 kasus disebabkan oleh alergi makanan karena kesulitan bernafas dengan 13 kasus karena henti nafas. Sebaliknya, syok tanpa kesulitan bernafas ditemukan pada 9 dari 19 kasus karena sengitan serangga dan 12 dari 21 kasus karena reaksi iatrogenik.
Pada autopsi, hal-hal yang bisa ditemukan tidak spesifik. Seringkali didapatkan edema laring, tetapi jarang didapatkan obstruksi komplit dari saluran pernafasan. Pumphrey dan Roberts melaporkan edema laring dan pharing masing-masing didapatkan 8% dan 49%. Emfisema yang disebabkan oleh bronkokonstriksi bisa ditemukan. Kongesti pulmonal dan visceral, edema, dan perdarahan pulmonal bisa didapatkantetapi tidak spesifik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pumphrey dan Roberts, 23dari 56 kematian karena anafilasis tidak ditemukan kelainan kelainan makroskopik pada autopsi.

Untuk membuat diagnosis adanya reaksi anafilaksis ditentukan adanya riwayat alergi atau ada yang menyaksikan seseorang meninggal karena sengatan serangga, makanan dan obat-obatan. Kebanyakan kematian yang berhubungan dengan obat-obatanyaitu penggunaan penicillin atau agen iodine-containing contrast yang digunakan untuk tujuan diagnosis. Petunjuk penggunaan agen low-osmolar pada radiologi dapat mengurangi jumlah reaksi membahayakan yang bisa timbul karena agen iodinated contrast. Pada kematian yang disebabkan oleh gigitan serangga, adanya elevasi dari venom-spesifik IgE antibody dapat dideteksi pada darah postmortem. Elevasi level dari IgE spesifik antibody tidak selalu mengindikasikan terjadinya reaksi anafilaktik, kecuali jika seseorang memang sensitif dengan venom (bisa) tersebut. Ditemukannya antibodi dapat menjelaskan terjadinya reaksi anafilaksis karena gigitan serangga. Tidak semua kematian karena reaksi anafilaksis menunjukkan adanya antibodi yang spesifik dengan serangga yang menggigitnya. Pada beberapa kasus, cross-reaction dengan antigen pada serangga lainnya yang bisa menyebabkan kematian karena alergi masih memungkinkan.
Pemeriksaan Luar

Pada pemeriksaan luar dapat dijumpai :
- Adanya pembengkakan luar di daerah suntikan, untuk itu maka daerah suntikan harus difoto, dieksisi sebatas 5 cm dari batas kulit dan diambil jaringan dibawahnya untuk pemeriksaan laboratorium terhadap antigen.
- Dijumpai edema wajah, kelopak mata, konjuctiva dan bibir yang berhubungan dengan edema angioneurotik.
- Perubahan yang disebabkan asfiksia meliputi perdarahan sub konjuctiva dan buih di mulut dan lubang hidung.
- Perdarahan petechie umum pada kulit biasanya disebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas sebagai akibat dari histamine atau sejenisnya.

Pemeriksaan Dalam
Bisa dijumpai edema glotis dari epiglottis (bila autopsi kurang dari 48 jam setelah kematian) yang meluas ke pita suara dan menyebabkan obstruksi laring. Edema akan menghilang setelah kematian (48 jam). Rima epiglottis bersama epiglottis harus difoto dari atas untuk rekaman tetap.
Pada cabang-cabang trakeobronkial berisi cairan berbuih dan mucus. Para-paru menjadi lebih berat dari biasanya, mengembang dan ada daerah emfisema kemerahan yang selang seling serta daerah-daerah yang mengalami kolaps. Pleura visceral sering menunjukkan perdarahan petechi yang tersebar. Pada pemotongan paru-paru dijumpai cairan darah bercampur buih.
Perikardium bisa dijumpai perdarahan petechi serta di rongga pericardium berisi transudat berwarna agak kemerahan. Jantung kanan mungkin besar karena gagal paru akut. Specimen dari darah harus diambil untuk pemeriksaan imunologi (titer antibodi) serta penentuan kadar obat.
Dijumpai kongesti akut pada abdomen bagian dalam, edema maupun perdarahan kadang-kadang ditemukan pada kedua ginjal. Lymphnode pada hati dan mesenterium bisa membesar dan hiperemis.
Jaringan otak menunjukkan kongesti yang difus dan sering disertai dengan perdarahan petechi pada substansia alba.

Pemeriksaan Mikroskopik

Secara mikroskopis, maka gambaran korban syok anafilaktik akan menunjukkan sub mukosa laring dengan infiltrasi eosinofil yang menempel pada endotel pembuluh darah, pembuluh darah melebar, sel yang nekrosis belum ada.
Paru juga menunjukkan pembesaran fokal atau difus akibat adanya emfisema akut. Arteriol dan kapiler pada paru tampak dilatasi.
Tampak hiperemia yang kadang disertai perdarahan pada Payer’s patch dari usus halus, Lymphnode porta hepatits dan lymphnode mesenterium. Limpa menunjukkan leukosit eosinofilik.
Untuk sediaan darah post mortem dapat dijumpai peningkatan kadar tryptase (> 10 µg/liter) yang merupakan tanda indikasi yang sangat sensitive (86%) dan spesifik (88%) dari anafilaktik dan reaksi anafikaltoid. Selain itu ada sediaan darah yang juga dilakukan pemeriksaan titer anti bodi dengan menggunakan metode Radio Allergo Sorbent Test (RAST) untuk mengukur antibody yang berhubungan dengan energi terutama IgE.
Untuk jaringan di daerah tempat suntikan maka dilakukan pemeriksaan antigen, terutama jenis antigen yang dapat merangsang antibodi IgE, dimana anafilaktik sistemik sering akibat ter-eksposnya individu yang sensitive dengan protein heterolog (antiserum, hormone enzim). Polisakarida serta bahan untuk diagnosa (bahan kontras yang mengandung iodin, sulfabromophtalein) serta bahan-bahan yang dipergunakan dalam pengobatan (antibiotik dan vitamin).

Untuk pemeriksaan antigen dan antibodi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Immunodifusi
Yaitu antigen dan antibodi dideteksi berdasarkan reaksi mereka yang membentuk “precipitate line”. Teknik ini terbagi 2 yaitu “single immunodiffusion” dan “double immunodiffusion”. Teknik ini pada dasarnya digunakan untuk mendeteksi IgG, IgA, IgM secara kuantitatif.
2. Immunoelektroforesis
Teknik ini diperkenalkan oleh Graber dan William (1953) yang dapat mengidentifikasi dan mengukur kuantitas kadar imunoglobulin di dalam serum, urin atau cairan tubuh lainnya.
3. Electroforesis
Berbagai kadar fraksi dari serum protein dengan melakukan masing-masing serum pada lapangan elektrik.
Aspek Medikolegal
Reaksi alergi yang bisa timbul tidak sama pada setiap orang, bisa ringan berupa gatal yang hilang dengan sendirinya, bisa pula berat hingga fatal. Reaksi alergi terhadap obat muncul tanpa diduga. Seseorang yang tadinya tidak apa-apa minum Antalgin, suatu ketika gatal sekujur tubuhnya setelah minum antalgin. Jangka waktu munculnyapun bisa cepat bisa lambat, demikian pula berat ringannya. Seseorang mungkin langsung syok tak sadarkan diri sesaat setelah minum antalgin, misalnya. Sementara yang lain hanya gatal, beberapa saat kemudian hilang gatalnya. Berikut beberapa contoh kasus pasien dengan reaksi alergi :

Seorang penderita mendapatkan obat. Beberapa saat kemudian penderita tersebut datang lagi dengan keluhan gatal setelah minum obat, yang kemungkinan menandakan reaksi alergi. Pada kasus ini, seorang dokter wajib memberikan catatan tertulis reaksi alergi obat kepada penderita. Tidak cukup hanya mengatakan bahwa si penderita alergi terhadap obat A. Catatan diberikan kepada penderita disertai pesan agar menyerahkan catatan alergi tersebut kepada dokter manapun jika sewaktu-waktu sakit. Selain memberikan catatan riwayat alergi kepada penderita, dokter tersebut wajib mencatat dalam rekam medik.

Seorang penderita membawa satu tas berisi obat minum, obat suntik dan suntikan kecil, disertai surat dari dokter ahli agar penderita diinjeksi obat secara berkala selama waktu tertentu (kasus penderita TBC berulang). Dalam surat disebutkan agar penderita ditest (test kulit) terlebih dahulu menggunakan pengenceran tertentu. Siapa sangka, ketika test sedang berlangsung (belum sampai tuntas test kulit), tiba-tiba penderita syok (anafilaktik syok). Tak sadarkan diri, ngorok, nadi tak teraba, napas megap-megap. Setelah tindakan darurat penanganan anafilaktik syok sesuai prosedur tetap (protap), penderita dapat diselamatkan.

Seorang pasien berobat ke dokter kemudian padasaat pasien diterapi dengan suntikan pasien tiba-tiba kolaps akibat obat suntik yang diberikan atau yang biasa disebut anafilaktik syok. Dalam hal ini dokter perlu melawan reaksi tersebut dengan memberikan penanganan berupa pemberian kortikosteroid atau kalau perlu pemberian adrenalin. Namun dokter tersebut tidak memberikan obat tersebut karena alasan obat tersebut tidak ada sehingga pasien tersebut meninggal dunia. Maka dokter tersebut dapat dipidana karena kealpaan dan kelalaiannya menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.

Adapun aspek medikolegal pasien dengan anafilaktik yaitu:

-Keterlambatan menganggap/madiagnosis pasien tersebut mengalami anafilaktik padahal sudah terjadi sinkop dan hipotensi sehingga tidak diberikan penanganan yang cepat dan tepat.

-Tidak menganamnesa penyakit alergi yang diderita pasien sebelumnya sebelum terapi diberikan (obat, makanan, atopi)

-Kelalaian memeberikan resep injeksi epinefrin dan penjelasan kepada pasien tentang penyimpanan dan penggunaannya.

-Kegagalan mendiagnosis penyebab terjadinya anafilaktik

-Tidak mencegah terjadinya reaksi obat pada pasien yang diketahui hampir atau sensitif dengan melakukan tes terlebih dahulu (cross-reacting drug).

-Lalai memberikan informed consent sebelum melakukan tindakan pada pasien

-Tidak memberikan penanganan yang tepat (sesuai prosedur penanganan syok anafilaktik)

-Tidak bersiaga dengan menyediakan emergency kit bila melakukan injeksi.

Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk melaksanakan tugas dan kewajiban profesinya dengan hati-hati dan penuh rasa tanggung jawab. Malprektek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat ilmu pengetahuan dan keterampilannnya untuk untuk mengobati pasien atau atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian adalah kurang hati-hatiatau bisa pula diartikan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik.

Adapun Hukum/Undang-Undang yang berhubungan dengan kasus-kasus syok anafilaktik antara lain.
-UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 53
(1)Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2)Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standarprofesi dan menghormati hak pasien.
(3)Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pcmbuktian, dapat melakukan tindakan medisterhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
-UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 54
(1) Terhadap tenaga keschatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian data melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2)Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
-UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 55
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnyamencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4)Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secaratertulis maupun lisan.
(5)Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
-UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
-UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
-UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyaikewajiban :
a.memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

-UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
-UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
b.Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
-KUHP,Pasal 359
Barang siapa karena kesalahan (kealpaaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar